
MAKALAH
“TRICHURIASIS”
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit Menular Kelas D
Rani Romadaniyati 122110101009
Riski
Wahyu R. 122110101021
Andi Hilman Imtiyaz 122110101042
Rochmanita Ulfah 122110101063
Leilya Irwanti 122110101093
Arizky
Setiawan 122110101120
Lutfi
Fajar Nuraidah 122110101136
Akbarrio 122110101147
Ahmad Halif Mardian 122110101175
R.Moh.Naufal Roby F. 122110101188
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, karunia, nikmat sehat dan
sempat, sehingga penulis dapatmenyelesaikan makalah yang berjudul “Trichuriasis” dengan lancar dan tepat waktu.
Makalah yang
kami buat mampu memaparkan dan menguraikan secara jelas tentang Trichuriasis.
Dalam pembuatan makalah ini
penulis telah berusaha semaksimal mungkin mengadopsi berbagai disiplin ilmu
dari berbagai sumber untuk menjelaskan materi yang penulis angkat dari judul tersebut.
Keberhasilan
penulisan makalah ini
tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Dengan terselesaikannya makalah ini
tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak berikut:
1. Dosen mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular Irma
Prasetyowati, S.KM., M.Kes. Atas segala arahan yang
telah diberikan untuk kelancaran proses pembuatan
sekaligus penyempurnaan makalah ini
2. Orang tua dan keluarga kami yang banyak
memberikan motivasi serta dukungan, baik secara moral maupun spiritual
3. Serta
semua pihak yang terlibat dalam proses penyempurnaan makalah ini
Penulis
berupaya semaksimal mungkin dalam penulisan makalah ini dengan harapan akan
mampu memenuhi tugas mata kuliah epidemiologi penyakit menular dengan
sebaik-baiknya serta mampu memberikan pengetahuan baru bagi pembaca. Namun,
makalah ini penulis rasa masih jauh dari sempurna, sehingga
diharapkan adanya saran dan kritik guna penyempurnaan makalah ini.
Jember,
08 April 2014
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi
cacing Trichuris trichiura adalah salah satu infeksi Soil -Transmitted Helminth (STH) yang banyak terjadi di Indonesia. Data
survei menunjukkan bahwa infeksi T.
trichiura merupakan masalah di semua daerah di Indonesia dengan prevalensi
35% sampai 75% (Keisser & Utzinger, 2008; Schmidt et al., 2005). Faktor
lingkungan juga mempunyai pengaruh yang
penting dalam proses transmisi, seperti iklim tropis di Indonesia, di mana
tempat tinggal dengan sanitasi yang buruk serta higienitas yang rendah
mempunyai risiko terinfeksi yang lebih tinggi (Brooker et al. 2006; WHO, 2003).
Infeksi cacing dapat ditemukan pada berbagai
golongan umur, namun lebih sering ditemukan pada anak balita dan anak usia sekolah,
terutama yang mem punyai kebiasaan bermain di tanah dan makan tanpa mencuci
tangan terlebih dahulu (Ibrahim, 2013; Ideham, 2007). Infeksi cacing ini
menyebabkan timbulnya malnutrisi, anemia, gangguan proses belajar dan kehadiran
di sekolah, karena parasit ini hidup di saluran pencernaan dan dapat menganggu
kesehatan anak (Awashi et al., 2003; Hall & Nahar, 1994).
Albendazole merupakan salah satu ant
helmintik yang direkomendasikan oleh WHO dalam penanganan infeksi cacing STH, termasuk infeksi cacing T. trichiura (Keisser et al., 2008; WHO, 2007). Obat ini
efektif dalam mengontrol morbiditas yang berhubungan dengan infeksi cacing yang
endemis (Keisser et al., 2008).
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa itu Trichuriasis?
2.
Bagaimanakah
konsep penyebab serta elemen Trichuriasis?
3.
Bagaimanakah
pencegahan Trichuriasis?
4. Apa saja program pemerintah yang telah dilaksanakan
dalam rangka menyelesaikan masalah Thrichurasis
di Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
tentang penyakit Trichuriasis.
2. Mengetahui
konsep penyebab penyakit dan elemen penyakit Trichuriasis.
3. Mengetahui
level pencegahan penyakit Trichuriasis.
4. Mengetahui
program pemerintah yang telah dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah penyakit
Trichuriasis.
1.4 Manfaat
Adapun
manfaat yang bisa diambil dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Bagi
pemerintah membantu dalam pembuatan program dalam
rangka menyelesaikan masalah penyakit menular terutama Trichuriasis di
Indonesia.
2. Bagi
teknisi kesehatan mampu mengetahui dan melakukan upaya-upaya
pencegahan serta pengobatan Trichuriasis.
3. Bagi masyarakat mampu melakukan upaya pencegahan
sedini mungkin terhadap Trichuriasis.
4. Bagi
mahasiswa mampu menumbuhkan kepekaan dan kepedulian terhadap permasalahan yang
dihadapi masyarakat khususnya pada Trichuriasis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Trichuriasis
Trichuriasis adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh T. trichiura (cacing cambuk) yang hidup di usus
besar manusia khususnya caecum yang penularannya melalui tanah. Cacing
ini tersebar di seluruh dunia, prevalensinya paling tinggi berada di daerah
panas dan lembab seperti di negara tropis dan juga di daerah-daerah dengan
sanitasi yang buruk, cacing ini jarang dijumpai di daerah yang gersang, sangat
panas atau sangat dingin. Cacing ini merupakan penyebab infeksi cacing kedua
terbanyak pada manusia di daerah tropis (; Beaver dkk, 1984; Markell dkk,
1999).
Trichuris trichiura merupakan salah satu
penyakit cacing yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900
juta orang pernah terinfeksi cacing ini. Cacing ini disebut juga cacing cambuk
karena secara menyeluruh bentuknya seperti cambuk. Manusia mendapat infeksi
dengan menelan telur yang infektif (telur yang mengandung larva). Di duodenum
larva akan keluar, menembus dan berkembang di mukosa usus halus dan menjadi
dewasa di sekum. Siklus ini berlangsung sekitar 3 bulan.
Di
Indonesia, cacing ini dikenal sebagai cacing cambuk (Soedarto, 1995) dan
memiliki taksonomi sebagai berikut (Belding,1965) :
Filum :
Nematoda
Kelas :
Aphasmidia
Order :
Enoplida
Suborder : Dorylaimina
Superfamili : Trichuroidea
Family :
Trichuridae
Genus :
Trichuris
Spesies :
T. trichiura
2.2 Etiologi Trichuriasis
Trichuris
trichiura juga termasuk dalam Nematoda usus. Penyakit yang
disebabkan dari cacing ini disebut dengan trichuriasis. Trichuris trichiura adalah cacing kecil yang berbentuk seperti
cambuk dengan bagian depan (kepala) yang mengecil dan bagian belakang yang
membesar. Bagian yang kecil akan terbenam pada dinding usus untuk menghisap darah
(Widoyono, 2008:130). Panjang cacing jantan ± 4 cm, bagian anterior halus
seperti cambuk, bagian ekor melingkar. Cacing betina panjangnya ± 5 cm, bagian
anterior halus seperti cambuk, bagian ekor lurus berujung tumpul. Setiap cacing
betina mampu menghasilkan telur sebanyak 2.000-10.000 butir per hari.telur
berukuran ± 50 × 22µ, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujung menonjol,
berdinding tebal dan berisi larva (Prianto, Tjahaya, Darwanto, 2003:22).
Insiden ankilostomiasis di Indonesia
sering ditemukan pada penduduk yang bertempat tinggal di perkebunan atau
pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan
yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat
menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan
pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi
penyakit ini (Gandahusada, 2000).
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva
adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk
menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar
rumah.
2.3 Daur Hidup
Daur hidup cacing ini langsung dan menjadi dewasa
pada satu inang. Cacing dewasa masuk ke mukosa caecum dan colon proximal
manusia dan dapat hidup di saluran pencernaan selama bertahun-tahun. Cacing
betina diperkirakan memproduksi lebih dari 1000 telur perhari. Telur yang
keluar melalui tinja menjadi infektif dalam waktu 10-14 hari (lebih kurang tiga
minggu) di tanah yang hangat dan lembab. Manusia mendapat infeksi karena
menelan telur infektif dari tanah yang mengkontaminasi tangan, makanan, dan
sayuran segar. Selanjutnya larva cacing tumbuh dan berkembang menjadi dewasa
dalam waktu 1-3 bulan setelah infeksi. Telur ditemukan dalam tinja setelah
70-90 hari sejak terinfeksi (Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000).

Gambar Siklus hidup Trichuris trichiura.
Infeksi ringan pada manusia biasanya
tanpa gejala. Kelainan patologi disebabkan oleh cacing dewasa. Bila jumlah
cacing cukup banyak dapat menyebabkan colitis dan apendisitis akibat blokade
lumen appendics. Infeksi yang berat menyebabkan nyeri perut, tenesmus, diare
berisi darah dan lendir (disentri), anemia, prolapsus rektum, dan
hipoproteinemia. Pada anak, cacing ini dapat menyebabkan jari tabuh (clubbing
fingers) akibat anemia dan gangguan pertumbuhan (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk,
1984; Strikland, G.T. dkk, 2000).
2.4 Tanda dan Gejala
Bagaimana mekanisme
pasti bagaimana T. trichiura menimbulkan kelainan pada manusia belum
diketahui, tetapi paling tidak ada dua proses yang berperan yaitu trauma oleh
cacing dan efek toksik. Trauma (kerusakan) pada dinding usus terjadi oleh
karena cacing ini membenamkan bagian kepalanya pada dinding usus. Cacing ini
biasanya menetap di daerah sekum. Pada infeksi yang ringan, kerusakan dinding
mukosa usus hanya sedikit tetapi dengan masuknya bagian kepala cacing dewasa ke
mukosa usus dan menghisap darah, terjadi iritasi dan peradangan mukosa usus,
sehingga dapat menimbulkan anemia, dan mudah terinfeksi bakteri atau parasit
lain seperti Entamoeba histolytica dan Eschericia coli. Infeksi
cacing ini memperlihatkan adanya respons imunitas humoral yang ditunjukkan
dengan adanya reaksi anafilaksis lokal, akan tetapi peran imunitas seluler
tidak terlihat. Gejala ringan dan sedang adalah anak menjadi gugup, susah
tidur, nafsu makan menurun, pada infeksi berat bisa dijumpai nyeri perut,
disentri sampai prolapsus rekti.
Infeksi STH diketahui dapat menyebabkan
malnutrisi dan anemia defisiensi besi.13 Penelitian di Zanzibar menunjukkan
hubungan antara infeksi cacing dengan pertumbuhan yaitu didapati peningkatan
berat badan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak terinfeksi.14
Kurangnya nutrisi dan infeksi parasit umum mempunyai ritme yang berhubungan
dengan usia. Kekurangan nutrisi biasanya lebih berat pada anak yang lebih
kecil, dan suplementasi makanan lebih berhasil pada anak usia kurang dari 2
tahun
2.5 Cara Penularan
Telur yang keluar bersama tinja dari hospes, dalam
keadaan belum matang (belum membelah), tidak infektif. Telur demikian ini perlu
pematangan pada tanah selama 3-5 minggu sampai terbentuk telur infektif yang
berisi embriio di dalamnya. Dengan demikian, cacing ini termasuk “Soil
Transmitted Disease” tempat tanah berfungsi dalam pematangan telur. Tanah yang
paling baik untuk perkembangan telur yaitu tanah yang hangat, basah, dan teduh.
Manusia mendapat infeksi jika telur infektif
tertelan. Selanjutnya di bagian proksimal usus halus, telur menetas, keluar
larva, menetap selama 3-10 hari. Setelah dewasa, cacing akan turun ke usus
besar dan menetap dalam beberapa tahun. Jelas sekali bahawa larva tidak
mengalami migrasi dalam sirkulasi darah ke paru-paru.
Waktu
yang dibutuhkan sejak telur infektif tertelan sampai cacing betina menghasilkan
telur, 30-90 hari.
2.6 Pengobatan
Anthelminthic Medications (obat yang membersihkan tubuh dari cacing parasit),
seperti albendazole dan mebendazole, merupakan obat pilihan untuk pengobatan
trichuriasis. Mebendazole dengan dosis 100 mg dua kali per-hari selama 3 hari
berturut-turut, tidak tergantung berat badan atau usia penderita. Obat seperti
Thiabendazole dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang baik. Penyedia layanan
kesehatan dapat melakukan kembali pengujian tinja setelah tahap perawatan.
Suplemen zat besi mungkin juga akan diresepkan jika orang yang terinfeksi
menderita anemia.
2.7 Pencegahan
Pencegahan yang utama adalah kebersihan, sedangkan
infeksi di daerah yang sangat endemic dapat dengan:
1.
Membuang
tinja pada tempatnya sehingga tidak membuat pencemaran lingkungan oleh telur cacing.
2.
Mencuci
tangan sebelum makan.
3.
Pendidikan
terhadap masyarakat terutama anak-anak tentang sanitasi dan hygiene.
4.
Mencuci
bersih sayur-sayuran atau memasaknya sebelum dimakan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Konsep Penyebab Penyakit dan Elemen Penyakit
1.
Agent
Cacing
Trichuris trichiura dan penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis.
Infeksi terjadi secara langsung dan tidak memerlukan hospes perantara. Telur
yang tidak mengandung embrio (tidakbersegmen) dihasilkan sebanyak 3.000-2.000
telur per hari oleh cacing betina di dalam sekum. Telur tersebut keluar bersama
feses. Telur berkembang di dalam tanah. Awalnya, telur mengandung dua sel,
membelah menjadi multiseluler, kemudian menjadi embrio. Telur menjadi infektif
dalam waktu 2-6 minggu bila kondisi di lingkungan sekitar sesuai untuk
perkembangannya, yaitu pada suhu 25-28˚C, di tanah yang lembab dan teduh, serta
terhindar dari sinar matahari langsung. Telur Trichuris trichiura kurang tahan
terhadap kekeringan, panas, dan dingin dibandingkan dengan telur Ascaris
lumbricoides. Pada tanah liat yang keras, telur tidak berkembang menjadi
infektif. Larva di dalam telur tidak mengalami ekdisis (pergantian kulit) dan
tidak menetas di dalam tanah.
2.
Host
Manusia
merupakan hospes cacing Trichuris
trichiura dan tidak memerlukan hospes perantara. Setelah telur infektif
tertelan oleh hospes melalui tangan atau makanan yang terkontaminasi tanah
tercemar, larva menjadi aktif dan
keluar melalui dinding telur yang
sudah rapuh dan masuk ke dalam usus halus. Larva menuju ke usus halus bagian
proksimal dan menembus vili-vili usus, lalu menetap 3-10 hari di dekat kripta
Lieberkuhn. Setelah menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan
masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Habitat cacing dewasa pada sekum dan
kolon asenden. Struktur yang menyerupai ujung tombak pada bagian anterior
membantu cacing menembus
dan menempatkan seperti cambuk
ke dalam mukosa
usus tempat cacing bagian
anterior yang mengambil makanan. Masa pertumbuhan mulai dari telur
tertelan sampai menjadi cacing dewasa yang memproduksi telur memerlukan waktu
30-90 hari. Jangka hidup (life span) antara 4-6 tahun, bahkan dapat juga
terjadi infeksi menetap sampai 8 tahun.
3.
Environment
Bahaya nyata dari penyakit ini biasanya
ditimbulkan di Negara-negara yang menggunakan tinja sebagai pupuk dan
wilayah-wilayah yang dalam pengolahan tinjanya masih sangat buruk bahkan
dianjurkan untuk pembuatan jamban setiap kepala keluarga. Hal ini diperparah
dengan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan yang kurang baik,
contoh: mencuci tangan sebelum makan, mencuci baik sayuran yang hendak
dikonsumsi secara langsung.
3.2 Level Pencegahan Penyakit
1. Pencegahan
Primer
Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan mengadakan penyuluhan kesehatan oleh petugas
kesehatan tentang kecacingan dan sanitasi lingkungan atau menggalakkan program
UKS, meningkatkan perilaku higiene perorangan dan pembuatan MCK (Mandi, Cuci,
Kakus) yang sehat dan teratur.
2.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan
sekunder dapat dilakukan dengan memeriksakan diri ke Puskesmas atau Rumah Sakit
dan memakan obat cacing tiap 6 bulan sekali
3. Pencegahan
Tersier
Pencegahan
tersier dapat dilakukan dengan melakukan tindakan medis berupa operasi.
3.3 Program Pemerintah
Dalam
rangka mengobati trikuriasis di Indonesia, Pemerintah telah melakukan berbagai
program penyakit kecacingan, misalnya dengan
1. Perbaikan infrastruktur bersih
2. Pemberian Penyuluhan kesehatan kepada semua anggota
keluarga, terutama anak-anak
mengenai
manfaat penggunaan jamban.
3. Menyediakan fasilitas jamban yang cukup untuk
pembuangan kotoran.
4. Mendorong
kebiasaan yang higienis, perilaku hidup bersih dan sehat, terutama membiasakan cuci tangan
sebelum makan, mencuci sayur sayuran, buah buahan dan bahan makanan lainnya
sebaik baiknya sebelum
di konsumsi, untuk menghindari
tertelannya
tanah dan debu yang mencemari.
5. Mendorong
kebiasaan masyarakat untuk memasak bahan makanan sematang mungkin sehingga
terhindar dari kontaminasi.
6. Penyuluhan tentang kebiasaan hidup bersih
dan sehat dengan menerapkan kebiasaan mencuci tangan pada anak sedini mungkin,
menghindari pangan terkontaminasi.
7. Pengobatan
gratis bagi penderita
Adapun obat yang
dipakai dalam mengobati penyakit trikuriasis ialah:
§
Obat pilihan :
Mebendazole (Vermox ®)
§
Obat alternatif :
Albendazole (Zentel®) dan Oxantel (Tidak beredar di AS)
Peraturan yang umum :
Wanita hamil pada trimester pertama tidak diberikan pengobatan kecuali ada
indikasi medis spesifik. Bila terdapat anemia, diberikan preparet besi disertai
perbaikan gizi penderita.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
a. Konsep penyebab serta elemen penyakit Trichuriasis
diantara lain disebabkan oleh agent, host dan juga oleh lingkungan.
b. Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan:
-
Primer
·
Penyuluhan
kesehatan
·
Peningkatan
hygiene perorangan
·
Pembuatan MCK
-
Sekunder
·
Diagnosa dini
·
Pengobatan
- Tersier: tindakan medis berupa operasi.
c. Peran pemeritah dalam penyakit Trichuriasis
·
Perbaikan infrastruktur bersih
·
Pemberian penyuluhan kesehatan
·
Menyediakan fasilitas
jamban yang cukup untuk pembuangan kotoran.
·
Mendorong kebiasaan
yang higienis, perilaku hidup bersih dan sehat.
·
Mendorong kebiasaan
masyarakat untuk memasak bahan makanan sematang mungkin sehingga terhindar dari
kontaminasi.
·
Pengobatan gratis bagi
penderita
4.2 Saran
1. Meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang gejala dan atau tanda-tanda, penyebab serta
penyebaran Trichuriasis.
2. Meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat pada masyarakat.
3.
Meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang pentingnya hygiene
sanitasi
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/biology.html (diakses pada Selasa, 09-04-14 pukul 19.55 WIB)
http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/treatment.html
(diakses pada rabu, 9-4-14 pukul 08-30 WIB)
http://www.scribd.com/doc/50371231/Trichuriasis.html (diakses pada Rabu, 09-04-14 pukul 20.21 WIB)
Natadisastra Djaenudin, dr.,Sp.ParK & Prof. Dr.
Ridad Agoes, MPH. 2009. Parasitologi kedokteran: ditinjau dari
organ tubuh yang diserang. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC.